"GITU AJA KOK REPOT..!"
Disebuah kelas
“Pengumuman apa tuh, Pak?” Sapa siswaku sambil menunjuk lembaran tertempel di kaca jendela tepat saat batang hidungku memasuki kelas.
“Biasa, info terbit majalah Keris Sena,” jawabku ringan. “Bulan ini, kan ada Valentine Day’s. Itulah tema dalam edisi bulan ini. Ayo, kirim karyamu ke kotak redaksi!” tambahku. Aku katakatan itu dengan ‘Semangat 45’, siapa tahu antusiasmeku menular dan Keris Sena semakin semarak.
“Ngapain kita rayakan Valentine Day’s? Kagak ade kerjaan ape? Itu budaya orang bule! Tidak ada manfaatnya bagi kita! Juga tak diajarkan agama kita,” timpalnya disambut sorakan kawan-kawan lainnya. Ada yang mendukungnya. Juga ada yang menolaknya.
Respon yang beragam itu membuatku terdiam sesaat sambil senyam-senyum. “Pro-kontra” para siswa itu membuatku girang, karena ini bukti mereka mencintai Keris Sena dan memang merekalah pemiliknya.
Kuhentikan kegaduhan di kelas saat itu dengan sedikit penjelasan: Valentine adalah nama seorang lelaki yang tinggal di bla bla bla (selengkapnya baca di blog Keris sena di www.kerissena.blogspot.com). Singkatnya, menurut hemat saya, Budaya Barat “kering” dari budaya kasih-sayang. Terbukti, sejak awal abad Masehi mereka melakukan ekspansi alias menjajah dunia Timur, termasuk Indonesia. Mereka merampas hasil bumi Negara lain untuk kekayaan mereka sendiri dan memperbudak bangsa lain untuk dipekerjakan di ladang-ladang mereka. Nah, seiring perjalanan peradaban, budaya Barat dituntut untuk “menyesuaikan diri”, karena itulah mereka ciptakan Valentine Day’s, Thank’s Giving, Hari Ibu, dan sebagainya.
Berbeda dengan budaya Islam: saya sebut, “Every Day is Love, Every Human Can be Lovers”
Apapun itu, kita sebagai orang Timur, baik muslim Kristen, Hindu maupun Budha, harus mengambil sisi positifnya. Mengingat Valentine Day’s sudah membudaya (meski ditolak rame-rame), maka kita harus mampu menciptakan sisi positifnya.
Barat mengenal 14 Februari sebagai momen pengakuan kasih sayang, 22 Desember sebagai Hari Ibu. Bukan berarti selain tanggal tersebut tidak ada Kasih Sayang atau tidak ada Ibu.
Sisi positifnya: Valentine Day’s memberi tahu kita bahwa sebenarnya sejarah bangsa kita lebih beradab jika dibanding Barat.
Setiap tahunnya menjadi kesempatan bagi pedagang untuk memperoleh keuntungan berlipat. Permintaan coklat meningkat signifikan pada hari itu, begitu juga bisnis pariwisata, serta para penjual pernak-pernik atau perhiasan meraup rezeki yang lumayan besar dibanding hari-hari biasa. Ekonomi pasar jadi bergerak. Bukankah hal ini positif, coy!
Dampak negatifnya? Hal ini, sih, kita semua telah tahu! Banyak generasi muda kita menjadi amoral dan melupakan budaya ke-Timur-an. Bertameng Valentine Day’s, mereka hura-hura dan berprilaku tidak senonoh, mengumbar nafsu dengan menerjang-menentang ajaran agama utamanya Islam.
Itulah kenyataan yang kita alami bersama. Apapun alasannya, kita tidak bisa “tutup mata” dan “tutup telinga”. Saya hanya berusaha menyampaikan apa adanya. Segala sesuatu itu bergantung dari niat dan pelaksanaannya. 14 Februari bisa menjadi momen yang baik dan berdampak baik juga. Sebaliknya, jika kita sejak awal berniat buruk dan melakukan keburukan, maka hari apapun akan menjadi keburukan, nauzubillahi mindzalik.
Selama kita masih memegang teguh ajaran agama, mencoba selalu menambah pengetahuan dan ilmu, juga menerapkannya secara positif, tentu segala hasilnya adalah kemajuan yang memperkuat kepribadian kita ke arah yang lebih baik.
Harapan saya, apapun pendapat kita tentang Valentine Day’s, jadikanlah hari yang terlanjur membudaya ini sebagai momen terbaik untuk menjadi manusia sutuhnya: berakal, berperasaan dan beriman. Selebihnya terserah anda.
Catatan ini adalah jawaban kegundahan hati saya beberapa hari yang lalu di dalam sebuah kelas di SMP 6 Jember. Maaf bila tidak berkenan.
0 komentar