Sore itu langit merah jingga berpayung lembayung sehabis diguyur hujan, tanah basah, daun basah, dan tanpa terasa pula air mata ini juga ikut basah, mengalir di pipi. Ada perasaan ngilu menyayat-nyayat hati ketika kutatap dari kejauhan disebelah utara tempatku berdiri, sebuah tempat yang menyimpan nyanyian nostalgia yang tak mungkin aku lupakan bersama Bram dan teman-temanku dikala itu. Di tempat itulah kami bercanda, tertawa, sambil menikmati sepotong coklat dan diiringi dengan petikan-petikan gItar dengan nuansa nada-nada cinta. Oh...........sungguh bahagia saat itu.
Bram adalah sosok pria yang humoris, romantis, atletis dan yang pasti dimataku dia begitu gagah dan ganteng. Sulit untuk mencari bandingannya. Hari demi hari kulalui bersamanya. Sebagai teman di sangat perhatian, dia selalu hadir disaat suka maupun duka. Hingga pada suatu ketika aku dibuatnya terperangah, sebuah kalimat terindah lepas begitu saja mengurai dari bibirnya, dia bilang “aku suka kamu”. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa, benarkah itu, mungkinkah...........
Sebagai seorang wanIta, aku hanya mampu melestarikan budaya malu, paling tidak pura-pura malu, itung-itung belajar jual mahal, walau pada dasarnya ingin pada saat itu juga berteriak sekencang-kencangnya, Aku juga sayang kamu..... Namun naluri kewanItaanku berkata lain, aku berpura-pura mengulur waktu biar sedikit nyeni sembari menjajagi perasaanku sendiri. Benarkah aku siap menerima seorang Pria.
Pada suatu hari aku mendapat berIta yang mengabarkan bahwa kakakku, Nindhi akan menikah. Dan ibu menyuruhku untuk segera pulang. Akhirnya untuk sementara waktu aku berpisah dengan Bram. Aku pulang hari Sabtu jam 09.30 WIB ke Bandung. Hari-hari yang kulalui di Bandung terasa hambar tanpa Bram, aku menyadari bahwa kini aku benar-benar jatuh cinta pada dia. Aku merindukannya, rindu pada tatapan kasihnya, pada senyum ramahnya dan gurauan-gurauannya. Seusai pernikahan kakakku selesai, aku pun kembali ke Jember untuk sekolah dan sekalian mengutarakan perasaanku pada Bram yang lama kupendam, bahwa aku juga cinta dia.
Tetapi sesampainya di Jember suasana berkehendak lain, laksana palu godam menghantam tubuhku, bagai petir meledak di telingaku ketika kabar yang kuterima, Bram telah berpulang kepangkuannya-Nya. Kubersimpuh sujud di jasad membeku. Tak kuasa lagi aku untuk berbuat apapun. Aku hanya pingsan dan pingsan. Tuhan mengapa engkau petik daun yang masih hijau, mengapa engkau tenggelamkan kembali matahariku yang baru terbit menyinari hatiku. Tuhan aku tak dapat berjalan tanpa Bram menemaniku, Tuhan mengapa Engkau ambil satu-satunya belahan jiwaku?
Ternyata selama ini dibalik senyum dan keceriannya. Bram menyimpan penyakit yang teramat ganas, penyakit kanker darah yang sulit disembuhkan oleh dokter.
Tet....tet...tet...bunyi klakson bus yang sedang melaju cepat kearah Bandung membuyarkan lamunanku tentang kenangan bersama Bram. Tanpa terasa masa SMP ku telah usai dan orang tuaku mengajak aku kembali ke Bandung untuk melanjutkan sekolah SMU disana. Hatiku mulai enggak tenang. Kenangan masa silam mengusik ketenanganku dan muncul di benakku kembali. Aku selalu ingat kebiasaan Bram bila berpapasan denganku, di selalu berteriak-teriak,”Merta......Merta kamu genit” itulah langganan panggilanku yang selalu disuarakan Bram bila berjumpa. Oh Tuhan, mungkinkah fatwa jingga kan menyinari kembali kehidupanku lagi. Bram, aku tak akan melupakanmu. Sebab kau adalah bagian dari kehidupanku yang telah merampas separuh jiwaku. Kau dalah pangeran dalam kerajaan hatiku yang mempunyai arti penting sepanjang perjalanan hidupku. Bram, moga kau damai di sisi-Nya. Amiiin.....
0 komentar