2 Juli 2013 pukul 22:08
Suatu
ketika teman kecilku yang telah menghabiskan masak anak-anaknya datang
mengunjungiku setelah bertahun-tahun dia bertarung mengalahkan nasib di
kota lain. Ketika sedang asyik berbincang tiba-tiba dia terdiam dan lalu
bangkit dari tempatnya duduk lalu menghampiri kalender yang tergantung
di dinding rapuh rumahku.
“Rul, ini foto kamu ta?, Kamu guru toh”., katanya sambil menunjuk salah satu fotoku yang terpajang berjajar bersama guru-guru yang lain di sebuah kalender sekolahku. Aku hanya tersenyum dengan lontaran kata-katanya yang seolah mengejekku, namun aku bisa memakluminya karena dia sahabatku yang tahu masa laluku. “Hehehe iya, kenapa”. “Weh mosok rek preman iso dadi guru” sambungnya, yang aku balas dengan gelegar tawa. “Muridmu opo mbok ajari tukaran ngantemi uwong ta”. Selorohnya semakin seruh dan aku hanya tertawa melihat gelagatnya maklum temanku ini udah lama enggak pernah ketemu. “Lah Pipe toh ble, mosok kate mreman terus, masio awakmu yo leren lah soboh embong” kataku meninpali gunjungannya. Sambil terus tertawa kemudian temanku itu lalu kembali duduk di tempatnya dan kini wajahnya mulai nampak serius.
“Rul, kalau inget waktu kecil sepertinya kita tidak akan seperti ini ya, Allah sangat berkuasa akan segala hal, dan kita ini adalah bukti ketidakberdayaan kita akan kekuasaan Tuhan”. Aku yang dulu temanmu parkir sepeda di pasar kini aku udah banyak karyawan di kalimantan, dan kamu yang dulu selain tukang parkir di pasar, tukang buang sampah, lalu menjadi tukang bakso ternyata sekarang jadi guru, rahasia Tuhan sungguh sangat nyata ya...” katanya dengan nada serius sambari sambil menatap langit-langit sembari mengingat masa lalu. Lalu dia bercerita tentang pengalamannya merantau ke kalimantan yang berbekal uang sejalan dan bekerja keras hingga dia sukses.
“seh rul sekarang kamu cerita gambarkan tentang kamu sekarang, gimana sih kamu saat jadi guru aku penasaran”. Aku terdiam”Wah gak enak aku ble, aku belum sesukses kamu, aku masih belum bisa membanggakan pekerjaanku ini apalagi sama kamu”. “Wah kok awakmu dadi cemen ngeneh seh, g koyok biyen, sukses iku duduk pekerjaane bos, tapi tentreme ati opo maneng cita-cita tercapai iku jenenge sukses, awakmu kan mulai cilik pancen pingin dadi guru seh kok sak iki malah ngersulo rezeki iku kan duduk teko penggawean tapi teko dalan seng macem-macem, wah awakmu iku ngregetne ae”. Kata temanku dengan logat jawanya yang kasar. Dengan komentarnya yang spontanitas itu aku menjadi tertunduk ternyata temanku ini bukanlah temanku yang aku kenal 20 tahun yang lalu. Dia kini tampak dewasa dan berwibawa. Sejenak aku menarik panjang nafasku dan lalu aku pun bercerita tentang pengalamanku menjadi guru.
Beginilah saya menggambarkan diri saya sebagai seorang guru, saya tegas tetapi fleksibel, lebih memilih humor dari pada ancaman, tidak ada tolerir terhadap prilaku kasar atau tidak sopan, bergairah pada pekerjaan saya dan yang pasti mau bertegur sapa dengan murid-murid dijalan. Butuh waktu untuk menyempurnakan karakter saya agar tegas, humoris dan konselor, dan saya banyak membuat perubahan. Seiring berjalannya waktu, di tahun pertama mengajar, saya berusaha terlalu keras untuk menjadi guru yang keren, dan ini menimbulkan masalah-masalah kedisiplinan. Saya sering kali bergurau dengan murid supaya mereka menyukai saya dan berharap mereka menjadi sahabat, yang tidak disadari pada saati itu adalah bahwa mereka tidak membutuhkan teman-teman lagi. Mereka telah memiliki banyak teman yang menawarkan kepada mereka rokok dan menjiplak tugas-tugas sekolah, teman-teman yang berpendapat bawah punk dan rock itu keren, Topi miring dan Anggur adalah minuman yang enak. Mereka tak butuh teman lagi yang mereka butuhkan mereka ternyata adalah saya sebagai guru, orang dewasa yang menerima tanggung jawab saya sebagai pembimbing mereka dan seorang pemimpin yang terkadang harus menjadi orang malang untuk menolong mereka. Di tahun kedua saya mengajar seorang guru senior berkata “Jangan tersenyum dan bercanda dengan siswa” dan sejak saat itu saya menjadi polisi kelas yang dapat menatap siswa saya sampai tewas. Namun saya tidak bisa melakukannya. Saya seorang pria yang penuh senyum, sehingga pesan saya tidak konsisten. Murid-murid saya merespon dengan kenakalan selama kurun waktu itu dan saya sangat tersiksa. Akirnya saya merenung dan mencari tahu apa kekuatan-kekuatan terbaik dan kelemahan-kelemahan saya. Lalu saya berusaha mengombinasikan tiga aset terkuat saya dan menghasilkan suatu kombinasi yang berhasil menurut saya. Saat ini saya berusaha menerapkan peraturan penting yang tidak dapat dipatahkan dalam situasi apapun yaitu saya mengambil waktu untuk mengenal setiap murid secara pribadi, dan saya menggunakan humor kapanpun jika memungkinkan untuk mendapatkan tujuan saya tanpa membuat murid saya kehilangan muka.”
“Wes stop ble....wah g nyambung aku, sip mugo mugo sukses” kata temanku sambil tertawa...
Kita hidup dijaman yang sama namun kita berbeda dalam hal lain, namun bagaimanapun juga hidup ini harus tetap dilalui dengan cara kita cara indah yang terus indah untuk semua.
Wah jadi teringat masa lalu... kemudian temanku bangkit dari tempatnya duduk dan berpamitan. Saat bersalaman dia menepuk pundakku. Pak guru, kamu Guru...., kamu sekarang guru. Dan jadi lah guru” lalu dia mengacungkan jempol dan berpamitan pulang
Aku terdiam melihatnya hilang ditelan belokan, masih bergema kalimatnya yang seolah memotivasiku. Guru...., guru itu ....guru. semoga aku bisa menjadi guru itu. J
“Rul, ini foto kamu ta?, Kamu guru toh”., katanya sambil menunjuk salah satu fotoku yang terpajang berjajar bersama guru-guru yang lain di sebuah kalender sekolahku. Aku hanya tersenyum dengan lontaran kata-katanya yang seolah mengejekku, namun aku bisa memakluminya karena dia sahabatku yang tahu masa laluku. “Hehehe iya, kenapa”. “Weh mosok rek preman iso dadi guru” sambungnya, yang aku balas dengan gelegar tawa. “Muridmu opo mbok ajari tukaran ngantemi uwong ta”. Selorohnya semakin seruh dan aku hanya tertawa melihat gelagatnya maklum temanku ini udah lama enggak pernah ketemu. “Lah Pipe toh ble, mosok kate mreman terus, masio awakmu yo leren lah soboh embong” kataku meninpali gunjungannya. Sambil terus tertawa kemudian temanku itu lalu kembali duduk di tempatnya dan kini wajahnya mulai nampak serius.
“Rul, kalau inget waktu kecil sepertinya kita tidak akan seperti ini ya, Allah sangat berkuasa akan segala hal, dan kita ini adalah bukti ketidakberdayaan kita akan kekuasaan Tuhan”. Aku yang dulu temanmu parkir sepeda di pasar kini aku udah banyak karyawan di kalimantan, dan kamu yang dulu selain tukang parkir di pasar, tukang buang sampah, lalu menjadi tukang bakso ternyata sekarang jadi guru, rahasia Tuhan sungguh sangat nyata ya...” katanya dengan nada serius sambari sambil menatap langit-langit sembari mengingat masa lalu. Lalu dia bercerita tentang pengalamannya merantau ke kalimantan yang berbekal uang sejalan dan bekerja keras hingga dia sukses.
“seh rul sekarang kamu cerita gambarkan tentang kamu sekarang, gimana sih kamu saat jadi guru aku penasaran”. Aku terdiam”Wah gak enak aku ble, aku belum sesukses kamu, aku masih belum bisa membanggakan pekerjaanku ini apalagi sama kamu”. “Wah kok awakmu dadi cemen ngeneh seh, g koyok biyen, sukses iku duduk pekerjaane bos, tapi tentreme ati opo maneng cita-cita tercapai iku jenenge sukses, awakmu kan mulai cilik pancen pingin dadi guru seh kok sak iki malah ngersulo rezeki iku kan duduk teko penggawean tapi teko dalan seng macem-macem, wah awakmu iku ngregetne ae”. Kata temanku dengan logat jawanya yang kasar. Dengan komentarnya yang spontanitas itu aku menjadi tertunduk ternyata temanku ini bukanlah temanku yang aku kenal 20 tahun yang lalu. Dia kini tampak dewasa dan berwibawa. Sejenak aku menarik panjang nafasku dan lalu aku pun bercerita tentang pengalamanku menjadi guru.
Beginilah saya menggambarkan diri saya sebagai seorang guru, saya tegas tetapi fleksibel, lebih memilih humor dari pada ancaman, tidak ada tolerir terhadap prilaku kasar atau tidak sopan, bergairah pada pekerjaan saya dan yang pasti mau bertegur sapa dengan murid-murid dijalan. Butuh waktu untuk menyempurnakan karakter saya agar tegas, humoris dan konselor, dan saya banyak membuat perubahan. Seiring berjalannya waktu, di tahun pertama mengajar, saya berusaha terlalu keras untuk menjadi guru yang keren, dan ini menimbulkan masalah-masalah kedisiplinan. Saya sering kali bergurau dengan murid supaya mereka menyukai saya dan berharap mereka menjadi sahabat, yang tidak disadari pada saati itu adalah bahwa mereka tidak membutuhkan teman-teman lagi. Mereka telah memiliki banyak teman yang menawarkan kepada mereka rokok dan menjiplak tugas-tugas sekolah, teman-teman yang berpendapat bawah punk dan rock itu keren, Topi miring dan Anggur adalah minuman yang enak. Mereka tak butuh teman lagi yang mereka butuhkan mereka ternyata adalah saya sebagai guru, orang dewasa yang menerima tanggung jawab saya sebagai pembimbing mereka dan seorang pemimpin yang terkadang harus menjadi orang malang untuk menolong mereka. Di tahun kedua saya mengajar seorang guru senior berkata “Jangan tersenyum dan bercanda dengan siswa” dan sejak saat itu saya menjadi polisi kelas yang dapat menatap siswa saya sampai tewas. Namun saya tidak bisa melakukannya. Saya seorang pria yang penuh senyum, sehingga pesan saya tidak konsisten. Murid-murid saya merespon dengan kenakalan selama kurun waktu itu dan saya sangat tersiksa. Akirnya saya merenung dan mencari tahu apa kekuatan-kekuatan terbaik dan kelemahan-kelemahan saya. Lalu saya berusaha mengombinasikan tiga aset terkuat saya dan menghasilkan suatu kombinasi yang berhasil menurut saya. Saat ini saya berusaha menerapkan peraturan penting yang tidak dapat dipatahkan dalam situasi apapun yaitu saya mengambil waktu untuk mengenal setiap murid secara pribadi, dan saya menggunakan humor kapanpun jika memungkinkan untuk mendapatkan tujuan saya tanpa membuat murid saya kehilangan muka.”
“Wes stop ble....wah g nyambung aku, sip mugo mugo sukses” kata temanku sambil tertawa...
Kita hidup dijaman yang sama namun kita berbeda dalam hal lain, namun bagaimanapun juga hidup ini harus tetap dilalui dengan cara kita cara indah yang terus indah untuk semua.
Wah jadi teringat masa lalu... kemudian temanku bangkit dari tempatnya duduk dan berpamitan. Saat bersalaman dia menepuk pundakku. Pak guru, kamu Guru...., kamu sekarang guru. Dan jadi lah guru” lalu dia mengacungkan jempol dan berpamitan pulang
Aku terdiam melihatnya hilang ditelan belokan, masih bergema kalimatnya yang seolah memotivasiku. Guru...., guru itu ....guru. semoga aku bisa menjadi guru itu. J
0 komentar