CAKRA PENA

Apapun yang kau lakukan....Apapun Itu.... Jangan pernah sia-siakan "Waktu"






Blog ini terhubung dengan facebook dan twitter,
Apabila anda telah "Log In" pada jejaring sosial tsb. Maka akan sangat memudahkan ^_^

Kenangan Pahit Nan Indah

Rabu, 30 Oktober 2013

2 Juli 2013 pukul 23:03
 
Sore itu gerimis rintik rintik sehingga membuat sebuah keluarga yang tinggal disebuah rumah kecil mumutuskan hanya diam dirumah berbeda dengan hari-hari biasanya. Kalau biasanya tiap sore keluarga kecil itu telah sibuk dengan kegitan sendiri, kebetulan rumah mereka yang dekat dengan pasar menjadi berkaH  tersendiri. Si ibu muda yang sekaligus menggantikan posisi  suaminya sebagai kepala keluarga karena sang suami sedang merantau diluar kota itu biasanya berkeliling dari orang satu ke yang lainnya sambil menggendong anak perempuannya yang masih kecil, dia menawarkan rokok yang hanya beberapa bungkus untuk ditawarkan secara eceran berharapa memperoleh laba sedikit namun bisa untuk mengisi perut anak-anaknya. Sedangkan anak perempuannya yang bungsu bersama adik laki-lakinya yang masih TK sibuk memberiskan motor dengan harapan dapat upah dari pemilik. Kegitan rutin ini urung mereka lakukan karena gerimis kini menjadi hujan yang lebat.
Si ibu muda tanpak murung, dibenaknya terasa dijambuk bertubi-tubi, bisa dia bayangkan esok hari anak-anaknya akan kelaparan. Belum lagi rentinir pasti akan kembali memakinya karena tunggakan bunga pinjaman yang tidak terbayar lagi. Melihat ibunya melamun Ida anak bungsu ibu muda itu tanggap apa yang membuat ibunya termenung,  gadis kecil yang baru berusia 8 tahun itu bergegas menghampiri ibunya sembari memijat kaki sang ibu yang tampak urat-urat hijau menonjol keluar. “Buk, Ida mau kelur dulu ya, tadi Ida diminta tolong untuk tetangga menjada anaknya yang balita” Kata Ida meinta ijin kepada Ibunya. Sang Ibu hanya tertegun dan tak bisa berkata-kata selain hanya menganuk-angukan kepalanya dan lalu mengelus kening Ida. “Hati-Hati ya Nduk, jangan nakal”. Kata sang ibu muda itu, tampak titik air diujung matanya.  Kini dirumahnya yang bocor dimana-mana dia hanya bisa memeluka dua anaknya yang lain.
Setelah hujan redah kurang lebih pukul depalan malam Ida anak perempuan mungilnya pulang lalu ia bergegas menemui ibunya yang sedang menyetrika pakaian, setiap hari pekerjaan ibu muda ini lebih banyak menyetrika pakaian milik tetangga. “Bu, Ida dapat rejeki”. Kata gadis kecil itu sembari menunjukan sebuah radio kecil ditangan kanannya. “Apa itu nduk, punya siapa radio itu” tanya ibu muda itu. “Tadi aku di kasih Pak Kamsu Radio ini katanya sudah gak dipakai lagi, tapi masih bisa kok bu”. Jawab Ida. Ibu muda itu segera berlari dan menghapiri anaknya yang membawa sebuah radio. “Ida, kamu harus jujur ini punya siapa, kamu dikasih apa mengambil milik orang lain”. Tanya ibu muda itu lagi. “Aku di kasih bu,  pak Kamsu bilang boleh diambil aku tapi gak boleh sampai tahu anaknya, karena ini milik anaknya”. “Nduk, kembalikan lagi ya, ibu kuatir besok anaknya marah, ya nduk lain waktu kalau ibu ada rejeki pasti membelikan kamu Radio”. Bujuk ibu muda itu sambil mengelus-elus rambut Ida. Kasih sayang sang ibu ternyata meruntuhkan keinginan Ida untuk memiliki radio itu dan segera merelakan hadiahnya tadi untuk dikembalikan lagi.
Keesokan harinya sepeti yang diperkirakankan sebelumnya tak ada beras yang bisa dimasak, Ibu muda itu hanya mondar mandir didapur mencari akal mengantisipasi kelaparan anak-anaknya. Segera dia membawa sebuah bakul lalu dia gendong anaknya yang paling kecil berkeliling menemui saudara-saudara suaminya dengan harapan ada yang mau meminjami beras segengam untuk bisa dia masak, namun setelah lama berkeliling bakul itu tetap kosong. Ida tampak prihatin dengan kejadian yang menimpa ibunya, belum lagi hari ini sepertinya mbok Limbuk sang rentenir pasti akan datang untuk menagih bunga hutang sang ibu. Ditengah kegelisahan dia mengajak adik laki-lakinya ke pasar dekat rumah yang merupakan tempat dia bermain sekaligus mencari recehan untuk membantu ibunya.
Dengan membawa gombal lusuh dia menawarkan ketiap orang yang membawa sepeda atau motor untuk dia bersihkan dengan harapan mendapat upah. Namun tidak satupun pagi ada yang mau menggunkan jasanya. “Mbak, aku lapar” rintih adik laki-lakinya sambil memegang perutnya. “sabar dik, tar lagi pasti dapat uang, tunggu sebentar ya”. Bisik Ida menenangkan siadik yang lapar, dan si adik laki-lakinya hanya mengguk lemas. Tiba-tiba wajah Ida tampak cerah dan bibirnya mengembang seyum “Dek kamu suka Beton kan?” si adik hanya mengangguk-angguk kan kepalanya . Nah itu ada penjual Nangka, isi nangka yang beserakan ditanah dibawah mejanya itupasti dibuang, gimana kalau kita ambil untuk kita masak”. Bisik Ida yang disambut seyum oleh si adiknya. Tak lama mereka bergegas dan memunguti beton atau isi nangka tersebut, namun baru beberapa beton yang dia pungut ditanah penjual beton tidak berang dan marah, melihat itu Ida langsung menarik tanggan adiknya dan berlari pulang. Dengan nafas yang masih terengah-engah dia menemui sang ibu yang sedang mencuci pakaian milik tetangga. “buk, aku punya beton, ibuk masak ya” kata Ida sambil terengah-engah dengan menunjukan beton beberapa butir beton yang ada digenggamannya. Ibu muda itu tersenyum melihat kearah Ida dan adik laki-lakinya. “dapat beton dari mana nduk?”. “tadi aku ambil dibawah meja penjual nangka, kan sayang ya buk kalau dibuang”. Jawab Ida yang disabut senyum oleh ibunya. “Tapi tadi pak penjualnya marah-marah buk kita mau dikejar jadi lari” ungkap adik laki-laki Ida dengan polosnya. Mendengar itu wajah ibu mada yang manis tiba-timba memerah dan menangis sembari memeluk kedua anaknya. Lama sekali ibu itu memeluk anaknya hingga membuat kedua anaknya tadi ikut menangis tanpa disakiti. “Nduk, jangan mengambil yang bukan milik kita, itu sama dengan mencuri, jangan nakal ya, maafin ibu ya, kalian pasti sangat kelaparan” ungkap ibu muda itu sambil mengelus rambut Ida dan adiknya. “Nduk, kita memang miskin tapi bukan berarti kita boleh mencuri, kita memang orang tidak punya tapi kita tetap punya kehormatan, ayo nak kita kembalikan lagi beton ini”. Kata sang ibu sambil menggandeng tangan kedua anaknya. Ida hanya pasrah sambil menahan tangisnya mengikuti langkah kaki sang ibu. Sesampai di tempat penjual nangkah Ida dan adik laki-lakinya tampak ketakutan bersembuyi dibelakang badan ibunya. “Maaf pak, anak-anak saya tadi nakal mengambil beton bapak, ini saya kembalikan lagi” kata sang ibu sambil menyerahkan berapa butir beton yang ada digengamannya. Penjual nangkah tertegun tak melihat beton yang dibawah ibu muda itu. “Maaf pak anak saya hanya mengambil segini pak saya yakin mereka tidak menyembuyikan lagi”. Kata ibu itu lagi meyakinkan penjual beton tersebut yang hanya tertegun. Si ibu muda itu memengang tangan ida dan bertanya “Nduk apa kamu mengambil beton lebih dari ini, mana yang lain?” Tanya ibu muda itu dengan mata agak melotot. Dan Ida hanya bisa membalasnya dengan tangis dan menggeleng-gelengkan kepala dia ketakutan karena selama ini ibu tak pernah bicara dengan sekeras ini bahkan dengan nada kesal. “Sudah buk, jangan dimarahi anaknya, dia gak bohong kok memang dia hanya mengambil segitu kok, tadi saya hanya marah spontan saja tidak saya ambil hati” kata bapak penjual itu meyakinkan sang ibu yang tampak lega. “kalau anak-anaknya mau ini ada banyak”. Lanjut penjual nangka sambil menunjukan sebakul isi nangka. “Ah ndak usah pak, mereka itu memang nakal kok”. Kata ibu muda itu sambil melihat kedua anaknya dengan isyarat untuk tidak menerima pemberian penjual nangka. “ndak papa kok bu, ini beton bisanya nanti saya kasihkan ketetangga yang mau, bahkan kadang sering saya buang”. “owh kalau gitu saya terima pak, anak-anak saya suka sekali beton”. Kata ibu muda itu sambil memindah beton itu kesebuah plastik. “besok kamu kesini ya nduk kalau mau ambil betonnya, ndak papa bilang aja mau ambil beton gitu ya” lanjut pak penjual nangka itu sambil tersenyum kearah ida yang langsung dibalas dengan senyum si Ida.
Setelah sampai dirumah si ibu langsung mencuci bersi beton dan memasaknya. Hari itu mereka berkumpul didapur sambil menunggu beton itu matang. Dan ketika beton itu telah matang, ibu muda itu langsung menepatkanya dipiring lalu makan bersama anak-anaknya yang sedang lapar. Tampak wajah ibu muda itu tersenyum bahagia. Beton ini bisa menganjal isi perutnya pagi ini. Suatu santapan menu yang variatif dari hari hari biasanya yang lebih sering dihidangkan yaitu nasi aking (nasi basi yang telah dikeringkan). Ida si gadis mungkil yang gigih itu tersenyum bangga melihat si ibu yang tampak bahagia. Dipandanginya adik laki-lakinya yang lahap memakan beton menu special hari itu. Dan wajah lucu adiknya yang paling kecil yang baru berusia 2 tahun itu. Dalam pejaman matanya dia berkhayal bahawa kehidupan yang lebih baik dari ini akan segera dijumpainya.
Adik laki-laki kecilnya yang dalam cerita itu adalah aku, terima kasih Mbakku yang luar biasa, Ibu yang begitu sabar dan bijaksana, yang tanpa nada keraspun bisa meruntuhkan egonya matahari. Tulisan ini hanya untuk mengingat peristiwa indah kalah itu, yang Tuhan ciptakan untuk keluarga kecil itu makna yang dalam, bahwa kebahagian itu tidak diukur dengan harta, namun dengan kasih sayang maka semua kepediahan itu kan dilalui. 
Tulisan ini untuk ibu di dikampung, Mbak Ida (Dayu)  Pahlawanku, dan Sinta adikku yang luar biasa, juga untuk anak-anakku sebagai pesan bahwa kemiskinan itu bukan alasan untuk “Nakal”, bahwa dalam hidup itu tidak harus indah seperti apa yang kita mimpikan, namun Tuhan memiliki rahasia yang luar biasa untuk kita jalani selayaknya manusia.
Terima kasih Tuhan telah kau berikan kepada kamu keluarga yang begitu Indah, didalam hidup kami, dan ingatkan kami Ya Rabb untuk selalu mensyukuri setiap nikmat yang kau berikan. Amin

Cerita Pendek ini non fiksi dan telah terbit di Majalah Keris Sena Edisi-8
Cerita Pendek ini non fiksi dan telah terbit di Majalah Keris Sena Edisi-8

0 komentar

Posting Komentar

Terima Kasih telah membaca catatan saya
silahkan menyempatkan diri berkomentar disini
semoga bermanfat