2 Juli 2013 pukul 23:03
Sore
 itu gerimis rintik rintik sehingga membuat sebuah keluarga yang tinggal
 disebuah rumah kecil mumutuskan hanya diam dirumah berbeda dengan 
hari-hari biasanya. Kalau biasanya tiap sore keluarga kecil itu telah 
sibuk dengan kegitan sendiri, kebetulan rumah mereka yang dekat dengan 
pasar menjadi berkaH  tersendiri. Si ibu muda yang sekaligus 
menggantikan posisi  suaminya sebagai kepala keluarga karena sang suami 
sedang merantau diluar kota itu biasanya berkeliling dari orang satu ke 
yang lainnya sambil menggendong anak perempuannya yang masih kecil, dia 
menawarkan rokok yang hanya beberapa bungkus untuk ditawarkan secara 
eceran berharapa memperoleh laba sedikit namun bisa untuk mengisi perut 
anak-anaknya. Sedangkan anak perempuannya yang bungsu bersama adik 
laki-lakinya yang masih TK sibuk memberiskan motor dengan harapan dapat 
upah dari pemilik. Kegitan rutin ini urung mereka lakukan karena gerimis
 kini menjadi hujan yang lebat.
Si ibu muda tanpak murung, 
dibenaknya terasa dijambuk bertubi-tubi, bisa dia bayangkan esok hari 
anak-anaknya akan kelaparan. Belum lagi rentinir pasti akan kembali 
memakinya karena tunggakan bunga pinjaman yang tidak terbayar lagi. 
Melihat ibunya melamun Ida anak bungsu ibu muda itu tanggap apa yang 
membuat ibunya termenung,  gadis kecil yang baru berusia 8 tahun itu 
bergegas menghampiri ibunya sembari memijat kaki sang ibu yang tampak 
urat-urat hijau menonjol keluar. “Buk, Ida mau kelur dulu ya, tadi Ida 
diminta tolong untuk tetangga menjada anaknya yang balita” Kata Ida 
meinta ijin kepada Ibunya. Sang Ibu hanya tertegun dan tak bisa 
berkata-kata selain hanya menganuk-angukan kepalanya dan lalu mengelus 
kening Ida. “Hati-Hati ya Nduk, jangan nakal”. Kata sang ibu muda itu, 
tampak titik air diujung matanya.  Kini dirumahnya yang bocor 
dimana-mana dia hanya bisa memeluka dua anaknya yang lain.
Setelah
 hujan redah kurang lebih pukul depalan malam Ida anak perempuan 
mungilnya pulang lalu ia bergegas menemui ibunya yang sedang menyetrika 
pakaian, setiap hari pekerjaan ibu muda ini lebih banyak menyetrika 
pakaian milik tetangga. “Bu, Ida dapat rejeki”. Kata gadis kecil itu 
sembari menunjukan sebuah radio kecil ditangan kanannya. “Apa itu nduk, 
punya siapa radio itu” tanya ibu muda itu. “Tadi aku di kasih Pak Kamsu 
Radio ini katanya sudah gak dipakai lagi, tapi masih bisa kok bu”. Jawab
 Ida. Ibu muda itu segera berlari dan menghapiri anaknya yang membawa 
sebuah radio. “Ida, kamu harus jujur ini punya siapa, kamu dikasih apa 
mengambil milik orang lain”. Tanya ibu muda itu lagi. “Aku di kasih bu, 
 pak Kamsu bilang boleh diambil aku tapi gak boleh sampai tahu anaknya, 
karena ini milik anaknya”. “Nduk, kembalikan lagi ya, ibu kuatir besok 
anaknya marah, ya nduk lain waktu kalau ibu ada rejeki pasti membelikan 
kamu Radio”. Bujuk ibu muda itu sambil mengelus-elus rambut Ida. Kasih 
sayang sang ibu ternyata meruntuhkan keinginan Ida untuk memiliki radio 
itu dan segera merelakan hadiahnya tadi untuk dikembalikan lagi.
Keesokan
 harinya sepeti yang diperkirakankan sebelumnya tak ada beras yang bisa 
dimasak, Ibu muda itu hanya mondar mandir didapur mencari akal 
mengantisipasi kelaparan anak-anaknya. Segera dia membawa sebuah bakul 
lalu dia gendong anaknya yang paling kecil berkeliling menemui 
saudara-saudara suaminya dengan harapan ada yang mau meminjami beras 
segengam untuk bisa dia masak, namun setelah lama berkeliling bakul itu 
tetap kosong. Ida tampak prihatin dengan kejadian yang menimpa ibunya, 
belum lagi hari ini sepertinya mbok Limbuk sang rentenir pasti akan 
datang untuk menagih bunga hutang sang ibu. Ditengah kegelisahan dia 
mengajak adik laki-lakinya ke pasar dekat rumah yang merupakan tempat 
dia bermain sekaligus mencari recehan untuk membantu ibunya.
Dengan
 membawa gombal lusuh dia menawarkan ketiap orang yang membawa sepeda 
atau motor untuk dia bersihkan dengan harapan mendapat upah. Namun tidak
 satupun pagi ada yang mau menggunkan jasanya. “Mbak, aku lapar” rintih 
adik laki-lakinya sambil memegang perutnya. “sabar dik, tar lagi pasti 
dapat uang, tunggu sebentar ya”. Bisik Ida menenangkan siadik yang 
lapar, dan si adik laki-lakinya hanya mengguk lemas. Tiba-tiba wajah Ida
 tampak cerah dan bibirnya mengembang seyum “Dek kamu suka Beton kan?” 
si adik hanya mengangguk-angguk kan kepalanya . Nah itu ada penjual 
Nangka, isi nangka yang beserakan ditanah dibawah mejanya itupasti 
dibuang, gimana kalau kita ambil untuk kita masak”. Bisik Ida yang 
disambut seyum oleh si adiknya. Tak lama mereka bergegas dan memunguti 
beton atau isi nangka tersebut, namun baru beberapa beton yang dia 
pungut ditanah penjual beton tidak berang dan marah, melihat itu Ida 
langsung menarik tanggan adiknya dan berlari pulang. Dengan nafas yang 
masih terengah-engah dia menemui sang ibu yang sedang mencuci pakaian 
milik tetangga. “buk, aku punya beton, ibuk masak ya” kata Ida sambil 
terengah-engah dengan menunjukan beton beberapa butir beton yang ada 
digenggamannya. Ibu muda itu tersenyum melihat kearah Ida dan adik 
laki-lakinya. “dapat beton dari mana nduk?”. “tadi aku ambil dibawah 
meja penjual nangka, kan sayang ya buk kalau dibuang”. Jawab Ida yang 
disabut senyum oleh ibunya. “Tapi tadi pak penjualnya marah-marah buk 
kita mau dikejar jadi lari” ungkap adik laki-laki Ida dengan polosnya. 
Mendengar itu wajah ibu mada yang manis tiba-timba memerah dan menangis 
sembari memeluk kedua anaknya. Lama sekali ibu itu memeluk anaknya 
hingga membuat kedua anaknya tadi ikut menangis tanpa disakiti. “Nduk, 
jangan mengambil yang bukan milik kita, itu sama dengan mencuri, jangan 
nakal ya, maafin ibu ya, kalian pasti sangat kelaparan” ungkap ibu muda 
itu sambil mengelus rambut Ida dan adiknya. “Nduk, kita memang miskin 
tapi bukan berarti kita boleh mencuri, kita memang orang tidak punya 
tapi kita tetap punya kehormatan, ayo nak kita kembalikan lagi beton 
ini”. Kata sang ibu sambil menggandeng tangan kedua anaknya. Ida hanya 
pasrah sambil menahan tangisnya mengikuti langkah kaki sang ibu. 
Sesampai di tempat penjual nangkah Ida dan adik laki-lakinya tampak 
ketakutan bersembuyi dibelakang badan ibunya. “Maaf pak, anak-anak saya 
tadi nakal mengambil beton bapak, ini saya kembalikan lagi” kata sang 
ibu sambil menyerahkan berapa butir beton yang ada digengamannya. 
Penjual nangkah tertegun tak melihat beton yang dibawah ibu muda itu. 
“Maaf pak anak saya hanya mengambil segini pak saya yakin mereka tidak 
menyembuyikan lagi”. Kata ibu itu lagi meyakinkan penjual beton tersebut
 yang hanya tertegun. Si ibu muda itu memengang tangan ida dan bertanya 
“Nduk apa kamu mengambil beton lebih dari ini, mana yang lain?” Tanya 
ibu muda itu dengan mata agak melotot. Dan Ida hanya bisa membalasnya 
dengan tangis dan menggeleng-gelengkan kepala dia ketakutan karena 
selama ini ibu tak pernah bicara dengan sekeras ini bahkan dengan nada 
kesal. “Sudah buk, jangan dimarahi anaknya, dia gak bohong kok memang 
dia hanya mengambil segitu kok, tadi saya hanya marah spontan saja tidak
 saya ambil hati” kata bapak penjual itu meyakinkan sang ibu yang tampak
 lega. “kalau anak-anaknya mau ini ada banyak”. Lanjut penjual nangka 
sambil menunjukan sebakul isi nangka. “Ah ndak usah pak, mereka itu 
memang nakal kok”. Kata ibu muda itu sambil melihat kedua anaknya dengan
 isyarat untuk tidak menerima pemberian penjual nangka. “ndak papa kok 
bu, ini beton bisanya nanti saya kasihkan ketetangga yang mau, bahkan 
kadang sering saya buang”. “owh kalau gitu saya terima pak, anak-anak 
saya suka sekali beton”. Kata ibu muda itu sambil memindah beton itu 
kesebuah plastik. “besok kamu kesini ya nduk kalau mau ambil betonnya, 
ndak papa bilang aja mau ambil beton gitu ya” lanjut pak penjual nangka 
itu sambil tersenyum kearah ida yang langsung dibalas dengan senyum si 
Ida.
Setelah sampai dirumah si ibu langsung mencuci bersi beton 
dan memasaknya. Hari itu mereka berkumpul didapur sambil menunggu beton 
itu matang. Dan ketika beton itu telah matang, ibu muda itu langsung 
menepatkanya dipiring lalu makan bersama anak-anaknya yang sedang lapar.
 Tampak wajah ibu muda itu tersenyum bahagia. Beton ini bisa menganjal 
isi perutnya pagi ini. Suatu santapan menu yang variatif dari hari hari 
biasanya yang lebih sering dihidangkan yaitu nasi aking (nasi basi yang 
telah dikeringkan). Ida si gadis mungkil yang gigih itu tersenyum bangga
 melihat si ibu yang tampak bahagia. Dipandanginya adik laki-lakinya 
yang lahap memakan beton menu special hari itu. Dan wajah lucu adiknya 
yang paling kecil yang baru berusia 2 tahun itu. Dalam pejaman matanya 
dia berkhayal bahawa kehidupan yang lebih baik dari ini akan segera 
dijumpainya.
Adik laki-laki kecilnya yang dalam cerita itu adalah 
aku, terima kasih Mbakku yang luar biasa, Ibu yang begitu sabar dan 
bijaksana, yang tanpa nada keraspun bisa meruntuhkan egonya matahari. 
Tulisan ini hanya untuk mengingat peristiwa indah kalah itu, yang Tuhan 
ciptakan untuk keluarga kecil itu makna yang dalam, bahwa kebahagian itu
 tidak diukur dengan harta, namun dengan kasih sayang maka semua 
kepediahan itu kan dilalui. 
Tulisan ini untuk ibu di dikampung, 
Mbak Ida (Dayu)  Pahlawanku, dan Sinta adikku yang luar biasa, juga 
untuk anak-anakku sebagai pesan bahwa kemiskinan itu bukan alasan untuk 
“Nakal”, bahwa dalam hidup itu tidak harus indah seperti apa yang kita 
mimpikan, namun Tuhan memiliki rahasia yang luar biasa untuk kita jalani
 selayaknya manusia.
Terima kasih Tuhan telah kau berikan kepada 
kamu keluarga yang begitu Indah, didalam hidup kami, dan ingatkan kami 
Ya Rabb untuk selalu mensyukuri setiap nikmat yang kau berikan. Amin

Cerita Pendek ini non fiksi dan telah terbit di Majalah Keris Sena Edisi-8


 
 
 
 
 
 
0 komentar